Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
https://wa.me/<+6282277963744>
BeritaWalikota jakarta selatan

Pengamat Desak Penutupan Lava Spa: Jangan Biarkan Hukum Tumpul Hadapi ‘Spa Berkedok

6446
×

Pengamat Desak Penutupan Lava Spa: Jangan Biarkan Hukum Tumpul Hadapi ‘Spa Berkedok

Sebarkan artikel ini

JAKARTA, Reportasexpost.com – Dugaan praktik prostitusi terselubung di tempat pijat Lava Spa yang berlokasi di Plaza 2 Pondok Indah, Jl. Metro Duta Niaga No.3 BA 45, RT.3/RW.14, Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, kembali mencuat. Kali ini, sorotan tajam datang dari kalangan akademisi dan pengamat kebijakan publik yang menilai penanganan aparat terhadap laporan masyarakat sebagai tindakan setengah hati dan penuh formalitas.

Awy Eziary, S.H., S.E., M.M., akademisi sekaligus pengamat kebijakan publik, secara terbuka menyampaikan kekecewaannya terhadap kinerja aparat yang dinilainya tidak serius menindaklanjuti laporan masyarakat terkait praktik asusila berkedok spa tersebut.

“Kami menduga tindakan yang dilakukan aparat hanya sebatas formalitas untuk menggugurkan kewajiban mereka. Tidak ada transparansi, tidak ada investigasi menyeluruh. Seharusnya jika memang berniat bersih, libatkan media dan masyarakat saat melakukan pemeriksaan,” ujar Awy pada Jumat (2/5/2025).

Lebih lanjut, Awy menyinggung potensi adanya ‘kongkalikong’ antara pemilik usaha Lava Spa dengan oknum petugas, yang berujung pada pembiaran pelanggaran hukum. Ia mendesak aparat untuk berhenti melakukan tindakan simbolis dan mulai mengambil langkah tegas serta transparan

Investigasi mendalam yang dilakukan tim wartawan secara daring mengungkap bahwa Lava Spa diduga menawarkan layanan seksual dengan sistem yang rapi dan terselubung. Pemesanan dilakukan via aplikasi pesan instan, di mana pelanggan dikirimi daftar harga dan fasilitas layaknya restoran. Setelah melakukan pembayaran, pelanggan bisa memilih “terapis” dari foto-foto yang ditampilkan.

Harga layanan bervariasi mulai dari Rp1.300.000 hingga Rp3.900.000 untuk durasi 60 hingga 120 menit. Paket yang ditawarkan bahkan termasuk opsi threesome, dengan istilah seperti hand job, body to body, hingga layanan yang menjurus ke arah hubungan seksual penuh.

Yang mencurigakan, biaya tersebut sudah termasuk “room charge” alias biaya kamar praktik yang tidak lazim bagi usaha pijat murni atau kesehatan.

“Kalau ini benar pijat kesehatan, kenapa perlu ada kamar dengan kategori VIP hingga VVIP? Ini jelas kemasan legal untuk praktik prostitusi,” kata seorang narasumber yang bekerja di area ruko sekitar, meminta identitasnya dirahasiakan.

Masyarakat juga menyoroti kesamaan logo Lava Spa dengan Flam Spa yang sebelumnya viral di Bali dan ditindak aparat karena praktik serupa. Pada Oktober 2024, Flam Spa digerebek dan lima orang tersangka dijerat dengan Pasal 30 dan Pasal 4 Ayat 2 UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, serta Pasal 55 KUHP.

Kini publik bertanya-tanya, mengapa Lava Spa bisa beroperasi kembali di Jakarta dengan logo dan konsep yang identik?

“Ini seperti mengganti baju, tapi tetap tubuh yang sama. Dugaan kuatnya, jaringan Flam Spa kini beroperasi dengan nama baru: Lava Spa,” imbuh Awy, sembari mendesak aparat untuk menyelidiki afiliasi bisnis ini lebih dalam.

Kasus Lava Spa menjadi cermin lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum di lapangan. Laporan masyarakat melalui aplikasi JAKI pun dinilai mandek tanpa tindak lanjut berarti. Lebih parah, publik mulai percaya bahwa pelanggaran semacam ini justru dilindungi oleh permainan oknum pejabat.

“Ini bukan hanya pelanggaran moral, tapi juga ancaman terhadap kesehatan masyarakat dan ketertiban sosial. Jika terus dibiarkan, maka hukum tidak lebih dari alat formalitas,” tegas Awy.

Kini sorotan tertuju pada aparat Pemprov DKI Jakarta, Satpol PP, dan Kepolisian untuk mengambil sikap tegas terhadap dugaan praktik prostitusi terselubung di Lava Spa. Masyarakat menuntut penindakan nyata, bukan hanya inspeksi dadakan tanpa hasil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *