JAKARTA, Reportasexpost.com – Dugaan praktik prostitusi terselubung di balik layanan spa eksklusif Relax Spa, Jalan Mangga Dua No. 41, Tamansari, Jakarta Barat, mengguncang publik. Lebih memprihatinkan, seluruh pejabat berwenang yang seharusnya bertanggung jawab justru memilih bungkam, meninggalkan ruang spekulasi kian terbuka.
Wali Kota Jakarta Barat Uus Kuswanto, Kepala Suku Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Dedi Sumardi, serta Kasatpol PP Jakarta Barat Agus Irwanto tidak memberikan satu pun tanggapan atas pertanyaan yang diajukan oleh awak media. Padahal, sorotan terhadap spa ini tidak main-main: dari laporan investigatif hingga kesaksian langsung menyebutkan praktik layanan seksual yang ditawarkan secara sistematis dan terang-terangan.
“Diamnya para pejabat ini bukan sekadar kelalaian, tapi patut dicurigai sebagai bagian dari pola pembiaran atau bahkan kemungkinan kongkalikong,” ujar praktisi hukum dan pengamat kebijakan publik Awy Eziari, SH, SE, MM, Jumat (1/8). Ia menekankan bahwa dalam konteks keterbukaan informasi publik, sikap pejabat yang tidak transparan semestinya menjadi perhatian serius.
“Jika kita berpegang pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, maka sikap semacam ini seharusnya menjadi dasar evaluasi. Gubernur DKI Jakarta perlu melakukan reformasi birokrasi yang menyentuh ke akar persoalan,” tegas Awy.
Relax Spa, yang selama ini dikemas sebagai pusat kebugaran dan relaksasi, ternyata menyembunyikan bisnis gelap di balik layanan premium-nya. Berdasarkan hasil penyelidikan, spa ini diduga kuat memasarkan layanan “plus-plus” melalui media sosial seperti TikTok, Instagram, hingga Facebook.
Para terapis ditampilkan dalam balutan pakaian minim, lengkap dengan kode layanan yang mengindikasikan penawaran seksual terselubung. Sistem komunikasi yang digunakan pun terstruktur: dari chat pribadi hingga pemesanan diam-diam di tempat.
Seorang pelanggan, sebut saja Ramli, mengungkap pengalamannya yang mengejutkan. “Baru masuk langsung ditawari paket spesial. Tarifnya tinggi, tapi therapist-nya cantik dan tahu cara memuaskan,” ujarnya, Rabu (30/7). Ramli menyebut ruangan-ruangan di Relax Spa seperti kamar hotel kecil, lengkap dengan fasilitas yang memfasilitasi aktivitas seksual. Bahkan, pelanggan diperbolehkan membawa alat kontrasepsi sendiri adalah sebuah indikator bahwa praktik ini bukan insidental, melainkan operasional.
Jika mengacu pada Pasal 42 Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007, praktik prostitusi di tempat usaha hiburan merupakan pelanggaran berat. Sementara itu, Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 18 Tahun 2018 secara eksplisit menetapkan bahwa spa harus fokus pada layanan relaksasi dan kesehatan, bukan jasa seksual.
Namun hingga berita ini diturunkan, tidak ada tindakan nyata dari instansi pemerintah terkait. Upaya konfirmasi kepada pihak manajemen Relax Spa, serta jajaran pejabat Suku Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Jakarta Barat, tak membuahkan hasil. Semua pihak memilih bungkam — mempertebal dugaan bahwa praktik ini telah berlangsung dalam bayang-bayang pembiaran struktural.
Kasus ini menjadi alarm keras bahwa prostitusi terselubung masih mengakar dalam dunia usaha hiburan ibu kota. Keberadaan spa-spa yang menyamarkan layanan seksual sebagai terapi relaksasi adalah bentuk penyalahgunaan regulasi sekaligus pembodohan publik.
Ketiadaan pengawasan yang serius membuat ruang-ruang bisnis seperti ini berkembang tanpa kendali. Jika tidak segera ditindak, maka praktik semacam ini bukan hanya mencoreng wajah Jakarta, tetapi juga melemahkan nilai-nilai moral masyarakat dan merusak generasi muda.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama aparat penegak hukum harus menjadikan kasus ini sebagai momentum untuk bersih-bersih. Penegakan aturan tidak boleh tebang pilih. Dunia usaha harus diawasi ketat dan dipaksa tunduk pada regulasi, bukan malah dijadikan ladang toleransi bagi praktik ilegal.
Jika Jakarta ingin tetap disebut kota beradab, maka keberanian menindak pelanggaran adalah harga mati. Bungkamnya pejabat tidak hanya mencerminkan kegagalan birokrasi, tetapi juga membuka celah bagi maraknya kejahatan yang dibungkus dalam kemewahan.*