JAKARTA, Reportasexpost.com – Polemik keberadaan menara telekomunikasi Base Transceiver Station (BTS) setinggi sekitar 32 meter di Jalan Outer Ring Road, RT 005/RW 002, Kelurahan Duri Kosambi, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat memasuki babak baru. Setelah mencuat ke publik melalui berbagai pemberitaan media massa, akhirnya Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Barat memasang garis larangan operasional pada instalasi tersebut, Selasa (2/12/2025). Garis tersebut menjadi tanda bahwa segala bentuk aktivitas operasional dan konstruksi pada menara itu dihentikan sementara.
Kepala Seksi Ketenteraman dan Ketertiban Umum Satpol PP Jakarta Barat, Edison Butar Butar, membenarkan pemasangan garis pembatas tersebut. Namun ia belum memberikan penjelasan lebih detail terkait hasil pemeriksaan dokumen perizinan maupun status hukum bangunan tersebut.
Di sisi lain, Lurah Duri Kosambi, Hendi Nurdin, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah menerima permohonan rekomendasi ataupun pemberitahuan mengenai pembangunan menara telekomunikasi tersebut.
“Kelurahan tidak ada, itu teknis di dinas. Tidak ada sama sekali rekomendasi atau pemberitahuan,” ujar Hendi saat dikonfirmasi, Rabu (3/12).
Menanggapi kondisi tersebut, akademisi dan pengamat kebijakan publik, Awy Eziary, S.H., S.E., M.M., menilai keberadaan struktur yang diduga dimiliki PT Tower Bersama Group itu semakin mengarah pada indikasi pelanggaran hukum.
“Dengan pernyataan pejabat yang saling lempar tanggung jawab, terlihat jelas bahwa tower itu ilegal dan tidak memiliki dasar pembangunannya,” tegas Awy.
Ia meminta pemerintah daerah bertindak tegas. “Kami mendesak aparatur berwenang untuk membongkar bangunan tower itu sampai dengan terbit perizinan resmi sesuai aturan,” ucapnya.
Awy juga memaparkan tentang regulasi pembangunan menara telekomunikasi di DKI Jakarta. “Pembangunan infrastruktur telekomunikasi di DKI Jakarta wajib mengikuti sejumlah regulasi, antara lain: Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang mengatur bahwa penyelenggara telekomunikasi wajib memenuhi ketentuan keselamatan, perizinan, dan tata ruang,” jelasnya.
Selain itu, kata Awy, juga harus sesuai Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi, yang mewajibkan pembangunan tower melalui kajian keselamatan, AMDAL, rekomendasi warga, serta izin operasional pemerintah daerah.
“Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung, yang mewajibkan setiap bangunan memiliki IMB (Izin Mendirikan Bangunan) atau kini dikenal sebagai PBG (Persetujuan Bangunan Gedung) dan Pergub DKI Jakarta No. 128 Tahun 2012 tentang Penataan Menara Telekomunikasi, yang mengatur lokasi, jarak aman, konstruksi, hingga mekanisme perizinan bertahap mulai dari tingkat kelurahan hingga provinsi,” terangnya.
Dengan demikian, pembangunan menara telekomunikasi tanpa pemenuhan prosedur administratif dan izin teknis dianggap melanggar hukum dan dapat dikenai tindakan pembongkaran.
Awy berharap kasus ini menjadi pembelajaran bagi seluruh operator telekomunikasi agar tidak melakukan pembangunan infrastruktur tanpa prosedur yang sah. “Undang-undang telekomunikasi sudah jelas. Peraturan daerah mengenai bangunan pun sudah baku dan tidak boleh dilanggar. Ini preseden buruk jika dibiarkan,” pungkasnya.*














