JAKARTA, Reportasexpost.com — Aktivitas pembangunan sebuah bangunan berstruktur baja berukuran besar di Jalan Daan Mogot KM 11 No. 38, Kelurahan Kedaung Kali Angke, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, terus berlangsung meski telah dinyatakan melanggar ketentuan dan dikenai sanksi penghentian tetap oleh Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Barat.
Pantauan di lokasi menunjukkan, bangunan tersebut tetap dikerjakan meski telah dipasangi spanduk merah bertuliskan “Bangunan Ini Dikenakan Penghentian Tetap (Disegel)” oleh Suku Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (Sudin Citata) Jakarta Barat. Fakta ini memunculkan tanda tanya besar terkait efektivitas penegakan aturan di lapangan.
Bangunan tersebut diketahui tidak mengantongi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan diduga melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Bangunan Gedung. Dalam regulasi tersebut, Pasal 24 mewajibkan setiap penyelenggaraan bangunan gedung memiliki persetujuan, sementara Pasal 40 mengatur sanksi administratif bagi bangunan yang berdiri tanpa izin.
Namun hingga Selasa (20/12/2025), kegiatan pembangunan tetap berjalan seolah tidak pernah ada peringatan maupun penyegelan dari otoritas berwenang.
Kondisi ini menuai keprihatinan masyarakat dan sejumlah kalangan pemerhati kebijakan publik. Mereka menilai fenomena tersebut mencerminkan lemahnya aparatur penegak peraturan daerah, khususnya di wilayah Jakarta Barat. Aparatur dinilai tidak menunjukkan ketegasan dalam menindak pelanggaran, sehingga sanksi administratif kerap diabaikan oleh pelaku usaha maupun pengembang.
Ketua DPD Lembaga Swadaya Masyarakat Pemerhati Penegakan Hukum dan Keadilan (LSM PPHK) Provinsi DKI Jakarta, Bung Awy Eziary, S.H., S.E., M.M., menyebut situasi ini sebagai cerminan persoalan yang telah mengakar di tingkat aparatur wilayah.
“Pelanggaran seperti ini seolah sudah menjadi budaya. Peringatan dan sanksi tidak lagi diindahkan oleh pelaku pelanggaran karena aparatur tidak tegas. Akibatnya, aturan dianggap remeh,” ujar Awy, Sabtu (20/12).
Menurut Awy, kontrol sosial dari masyarakat selama ini tidak mendapatkan respons yang memadai. Ia mengungkapkan, pihaknya telah berulang kali menyampaikan masukan dan laporan, termasuk melalui aplikasi pengaduan resmi Pemprov DKI Jakarta, JAKI, namun hasilnya dinilai tidak menyentuh substansi persoalan.
“Sejak terbitnya SP1, SP2, hingga SP3, aparatur seakan menutup mata dan telinga. Laporan resmi kami hanya berakhir di atas kertas, tanpa tindakan nyata di lapangan,” tegasnya.
Atas kondisi tersebut, LSM PPHK berencana menempuh langkah lanjutan dengan melibatkan aparat penegak hukum. Awy menyatakan akan berkoordinasi dengan Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta guna mendorong penyelidikan menyeluruh terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat, termasuk potensi kerugian retribusi daerah bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
“Jika dibiarkan, birokrasi di Jakarta Barat akan semakin rusak. Dalam waktu dekat kami akan membuat laporan resmi dan berkoordinasi dengan Kejati DKI Jakarta agar dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh,” ujarnya.
Ia menegaskan pihaknya tidak akan berhenti menyoroti dugaan pelanggaran, baik yang dilakukan oleh pengembang maupun oknum aparatur yang diduga menyalahgunakan kewenangan. “Praktik seperti ini tidak boleh dibiarkan jika Jakarta Barat ingin maju dan bersih dari korupsi,” katanya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari Sudin Citata Jakarta Barat, Satuan Pelaksana Citata Kecamatan Cengkareng, maupun pihak Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Barat terkait kelanjutan penindakan terhadap proyek bangunan tersebut.*














